“Pesantren” Toad Hall

Ini catatan Ning Navhat Nuraniyah alumni Gedung Putih yang sekarang belajar di Australian National University. Ternyata pesantren memang selalu di hati :)
 
Sejak pertama kali menghirup nafas di dunia, sejak saya belum punya kesadaran, saya sudah tinggal di lingkungan pesantren. Kalau anak balita jaman sekarang sekolah di playgroup atau childcare, saya cukup disekolahkan di TPA dekat rumah yang kebetulan berada di lingkungan pesantren. Masa-masa TK, SD, sampe MTs pun saya lalui di sekolah yang berada di lingkungan pesantren di kota saya yang mungil tetapi melahirkan tokoh-tokoh besar sepanjang sejarah Indonesia dan dunia seperti Hasyim Asy’ari, Cak Nur, Cak Nun, dan tentunya Gus Dur (narsis dikit haha).

Ketika beranjak remaja, seperti ABG lain, saya ingin keluar dari tembok pesantren di kota kecil saya dan mengetahui dunia “di luar sana”. Ternyata nasib mengantarkan saya ke kota budaya yang metropolis nan tradisionalis, tetapi lagi-lagi, saya tetap tinggal di dalam tembok pesantren. Tetapi pesantren ini bisa dikatakan lebih modern. Dalam kaca mata saya waktu itu, modern berarti santri perempuan boleh memakai celana (dengan catatan longar), tidak seperti di tempat asal saya yang semua santri perempuan harus pakai rok. Saya masih ingat kali pertama memakai celana, rasanya seperti tidak memakai busana lengkap; semriwing. Meskipun lama kelamaan yang terjadi malah sebaliknya, hehehe. Sisi lain dari “modern” yang saya rasakan waktu itu adalah kesempatan yang lebih besar bagi santri perempuan untuk aktif dalam organisasi, diskusi, dan interaksi dengan lawan jenis tanpa batasan yang membuat santri perempuan merasa inferior. Seperti ketika OSIS mengadakan lomba debat antara tim santri putra dan santri putri tentang kesetaraan gender; tanpa satir, tanpa perbedaan kesempatan untuk berbicara.

Terlepas dari batasan-batasan yang menjadi ciri khas di pesantren, di pesantren pula saya menemukan kebebasan dan keragaman. Kebebasan untuk mengekspresikan diri di antara teman-teman sebaya di asrama yang tidak mungkin bisa dilakukan di rumah karena takut  dengan orang tua; kebebasan berpikir dalam “takror” atau diskusi; dan kebebasan untuk mengatur dan mengontrol diri sendiri karena jauh dari orang tua. Toleransi terhadap keberagaman juga menjadi nilai penting yang saya pelajari melalui pengalaman di pesantren. Berbagi kamar dengan teman-teman dari berbagai pulau dan suku bangsa dengan bahasa yang berbeda mengajarkan berbagai pengalaman unik dan seru. Dan di pesantren itulah saya tinggal sampai masa-masa kuliah, dan bahkan setelah menikah status saya masih santri.

Sekarang pun rasanya saya masih santri, hanya saja “pesantren” saya sekarang berada di negara yang sering disebut sekuler. Di “pesantren” Toad Hall, santrinya disebut “Toadies”. Toadies tidak hanya datang dari berbagai pulau tetapi dari berbagai benua di dunia. Tinggal di Toad Hall, dalam sehari saya bisa merasakan seperti berada di Beijing, sorenya di Vietnam, malamnya di Italia dan tengah malam berasa di Dubai. Agama dan kepercayaan santri Toadies pun beragam, mulai dari yang tidak punya kepercayaan, setengah percaya setengah tidak, percaya dengan ketidakpercayaannya, sampai yang benar-benar percaya dengan jalan dan caranya masing-masing.  Toad Hall juga punya jamaah terawih di bulan Ramadhan di mana jamaahnya datang dari berbagai penjuru dunia seperti yang di video shalat jamaah Masjidil Haram. Acara buka bersama dihadiri dan bahkan diadakan oleh teman-teman dari lintas agama dan budaya. Setiap malam santrinya tekun membaca teks-teks keilmuan tidak hanya dari kitab kuning tetapi juga kitab putih, coklat, dan kitab layar sentuh. Meskipun terlihat lebih modern dan beragam, Toad Hall toh sama dengan pesantren lain: ngantri kamar mandi dan WC masih menjadi kebiasaan :)

Komentar