Cerpen Minggu



KADO 30 JUZ UNTUKMU
Oleh Nahdiyana Fitri Hidayah


            “Praaang...” sebuah bingkai foto berukuran sedang terjatuh dari atas lemariku. Ruangan seukuran kamar kecil yang sunyi mendadak dikagetkan karena tingkah hewan kecil yang merangkak gesit ke dinding. Aku mengambil foto Ibu yang berparas ayu, seolah ia tersenyum dengan secercah semangat tumbuh setiap aku melihat senyumnya, walau hanya diam dalam gambaran kertas berwarna hitam dan putih.
            Dua tahun aku berada di pesantren tak pernah pulang ke kampung halaman, membuatku rindu akan sosok kehadiran Ibu. Ah, tidak cuma beliau, tetapi juga Ayah. Sayangnya, Ayah jarang sekali di rumah. Beliau bekerja di luar kota sejak aku masih kecil dan pulang hanya ketika hari raya tiba, sehingga hanya Ibu lah yang mengurusku dan adikku. Karena itu, aku terpaksa menuruti kehendak Ibu untuk menuntut ilmu di sebuah pesantren yang jauhnya beratus-ratus kilometer dari rumah. Aku kembali meneruskan hafalanku yang tertunda sesaat, lalu sengaja menjauhkan diri dari kebisingan para santri hingga tak sadar aku terbuai menikmati setiap bait kalam Ilahi ini.
***
            Beberapa bulan berlalu, sebuah surat datang ditujukan padaku. Tak biasanya Ibu mengirim uang bulanan beserta secarik kertas berisi tulisan tangan beliau. Hatiku langsung tak sabar untuk segera membacanya.

Assalamu’alaikum, anakku Hasan…..
Dari hati Ibu yang terbalut rindu
            Bagaimana keadaanmu, nak? Sehat ya, sayang! Ibu kangen kamu. Lebaran besok pulang ya, jangan terlalu betah di pondok. Sekali-kali pulang temui Ibu. Ibu sepi tanpa canda-tawamu. Bagaimana hafalan Qur’an-mu, nak? Selalu do’akan Ayah dan Ibu agar selalu diberi rezeki oleh Allah. Oh iya ada satu kabar untukmu, sayang. InsyaAllah dua bulan lagi dek Husein bakal punya adik lagi.
            Lebaran tahun ini Ibu tunggu kehadiranmu.
Salam sayang dari Ibumu…..
            Tak terasa, air mata ini sudah menganak sungai di pipi. Dua tahun meninggalkan Ibu dan Hussein tanpa kabar dan kepastian untuk pulang ke rumah. Tega sekali, bahkan sekedar menengok serta mencium tangan pun tak selalu sempat aku lakukan. Aku kangen Ibu, tapi kesungguhanku mengkhatamkan al-Qur’an membuatku lupa segalanya, tak terkecuali ibuku. InsyaAllah target sepuluh juz lagi, sempurna sudah hafalanku dua tahun ini, dan bertekad untuk memberikan kejutan untuk Ibu. Aku pasti pulang dan bertemu dengannya. Semua ini membuatku bersemangat untuk segera bertemu Ibu.

***
            Teriknya udara siang membuatku tak bersemangat nderes al-Qur’an. Aku membolak balikkan tiap lembar dalam diam. Aku menyandarkan punggungku membelakangi lemari. Peci yang biasa aku pakai langsung aku lepas. Tidak aku hiraukan suara-suara santri yang sedang asyik bersenda gurau melingkar di tengah ruangan kamar. Aku hanya tersenyum menyaksikan salah satu dari mereka memberi kode untuk menyuruhku bergabung dalam diskusi cerita teman-teman kamarku. Sebuah predikat Santri pendiam dan rajin menjadi lekat padaku diantara santri-santri lainnya.
“Hasan, sampeyan ditimbali Abah yai, ten ndalem!” ujar sahabatku Agus.
Sesaat kemudian aku taruh al-Qur’an di dalam lemariku. Cepat-cepat kupakai peci dan bergegas ke rumah Pak Kyai. Dalam langkahku aku membatin, biasanya santri yang dipanggil Abah pasti punya masalah. Dengan gugup aku berusaha menenangkan diri saat Abah kini sudah dihadapanku.
“Hasan, barusan saya ditelpon pamanmu. Pulanglah! Ada sesuatu yang mengharuskan kamu bertemu Ibumu. Kalau bisa saat ini juga. Hati-hati ya, Nak. Salam Abah untuk semua yang disana.” ujar Abah yai.
Aku hanya mengangguk dan tak berkata apa-apa. Seketika rasa gembiraku membucah, akhirnya Abah membiarkanku pulang, padahal hafalanku masih tersisa lima juz lagi. Belum afdhol rasanya memberi kejutan untuk Ibu kalau hafalanku belum sempurna. Ah lupakan, mungkin Ibu sedang membutuhkan aku dan Ayah saat proses persalinannya. Ah iya, Ibu sedang melahirkan. Aku mulai membereskan baju-bajuku dan bersegera untuk pulang menemui Ibu.

***
            Di tempat lain, seorang Ibu sedang mempertaruhkan nyawa dalam proses persalinannya. Dengan berpeluh-peluh keringat sekuat tenaga ia berusaha memberikan separuh nafasnya demi kelahiran sang buah hati, yang berhak bernafas dan di besarkannya. Seorang bidan dan perawatnya membantu proses persalinannya dengan memberi semangat untuk tetap kuat.
            “Tarik nafas, Bu, sebentar lagi bayinya keluar.” begitu ujar sang bidan.
Diluar ruangan, dengan cemas seorang bapak berperawakan tinggi dan berkumis tebal menunggu proses persalinan istrinya. Hanya lantunan do’a yang menguatkannya dengan berjalan kesana-kemari tanpa henti menunggu kabar baik kelahiran anak ketiganya.
            Tetapi sesuatu hal terjadi diruangan itu, entahlah hanya Allah yang tahu.

***
            Sepuluh menit lagi, bus yang mengangkutku dari kota Gudeg akan sampai di daerah tujuan, Cirebon, perbatasan dengan Jawa tengah. Perjalanan yang memakan waktu delapan jam membuatku terasa letih, tetapi semua itu terhapus begitu saja karena rasa gembiraku yang tak sabar ingin segera sampai rumah dan melihat adik baruku.
            Akhirnya sampai sudah aku di tempat tujuan. Bus yang aku kendarai berhenti tepat di gang depan rumahku. Berteman tas ransel dipunggung aku mantap melangkahkan kaki menuju rumah yang beberapa langkah saja sudah terlihat didepan mata. Hanya saja aku terheran-heran melihat bendera kuning terpajang di depan papan nama “Gang Manggis”. Siapa gerangan orang yang meninggal tepat di area komplek rumahku? Apa mbah Rini, tetangga rumah yang usianya telah udzur di panggil Allah? Aku hanya menduga-duga bahwa mbah Rini-lah yang mungkin menjawab pertanyaanku tentang bendera kuning di depan gang ini.
            Rumahku sudah terlihat di depan mata, hanya saja banyak orang-orang ramai keluar masuk dengan berkerudung dan berpeci. Wah ternyata benar Ibu telah melahirkan. Aku semakin tak sabar untuk menyapa adik baruku. Tetapi, ternyata dugaanku salah besar! Tanteku menangis sesaat berlari kecil menemuiku dan tiba-tiba memelukku erat. Sedangkan aku yang sedari tadi membayangkan bahagianya melihat senyum Ibu menggendong adik baru segera saja sirna dan berganti dengan kekhawatiran.
            “Hasaaaann..hik..hik Hasaan” ujar tanteku menangis di punggungku.
Belum saja sampai rumah sambutan gembira yang aku harapkan malah berganti tangisan pilu.
            “Tante kenapa?” hanya itu jawabanku, sementara hatiku semakin tidak keruan.
 Tante tetap saja menangis dan memelukku. Dengan langkah penuh pasrah gemetar aku berjalan menuju rumah, dan aku melihat seseorang yang sudah terbujur kaku diatas dipan tertutup kain batik. Itu Ibu! Iya Ibu!!!
            Dihadapanku aku berlutut bersejajar disamping kepala ibu, mengecup kening dan pipinya, menahan tangis yang begitu menyesakkan dada, hati yang tersayat, tidak menerima takdir Allah yang membawa surgaku kembali dipangkuan-Nya. Aku melihat Ibu seperti tertidur. Beliau tersenyum membawa ketenangan untuk meyakinkanku, bahwa Ibu pergi dengan khusnul khotimah.
“Ibu, maafkan Hasan, Hasan belum bisa membahagiakan Ibu, Hasan ikhlas. Hasan yakin kita akan berkumpul kembali di Jannah-Nya nanti, InsyaAllah...” aku membisikkan ditelinga Ibu, dan kemudian duduk dengan punggung berguncang,
Ayah terduduk diam dibelakangku dengan mengelus-elus punggungku sebagai isyarat aku harus pasrah dan sabar dengan ujian yang Allah berikan saat ini. Seketika aku mendengar tangisan bayi yang terdengar pilu, bergegas aku pergi ke kamar melihat adik baruku. Aku menimang-nimang bayi cantik digendonganku, agar kembali tertidur pulas.
“Ah adikku sayang, kamu pasti lebih kuat dari abangmu ini”. Ujarku dalam hati.

***
            “Khotimin Bil Hifdzi, Muhammad Hasan bin Mahmud” suara Master of Ceremony membuyarkan lamunanku untuk segera naik ke atas panggung.
Tiga bulan setelah Ibu pergi, akhirnya janjiku untuk ibu telah aku lakukan, saat ini dihadapanku Pak Kyai sedang menyelempangkan surban sebagai pertanda perjuanganku telah usai. Aku diwisuda setelah menyelesaikan hafalan al-Qur’an. Dari atas panggung aku melihat Ayah sedang menggandeng tangan Husain dengan mata yang berkaca-kaca. Tetapi, sekelebat aku melihat Ibu berdiri disamping Ayah dengan senyum manis yang mengulas bibirnya.
Aku tersenyum melihat mereka, dan berujar dalam hati. “Kado ini kupersembahkan untuk Ibu, Ayah, Husein dan Husna, dan Allah sudah mempersiapkan rumah kita untuk berkumpul di surga-Nya, InsyaAllah...”.
                                                                                                           
 ***
                       















Komentar